Thursday, July 5, 2012

Tumpulnya Tanduk Kami (1)


Tumpulnya Tanduk Kami (1) -uncut and unrevised edition

Irvin Avriano A.


Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Felia Salim bernostalgia ketika menyambangi lagi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sore 18 Juni. Wanita berambut cepak yang sudah diselingi uban itu memang pernah menjabat direksi 1994—1999 di BEI ketika masih bernama PT Bursa Efek Jakarta.


Namun, kedatangan sepupu pakar 'ekonomi hijau' Emil Salim kala itu tidak lain untuk meresmikan pemberian plafon pinjaman BNI sebesar Rp300 miliar untuk intraday trading. Proses intraday itu dioperasikan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia, salah satu self regulatory organization (SRO) bursa selain BEI dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).


"Saya ini lama di bursa, tapi BNI belum bantu di sini, rasanya ada yang 'nggak' benar. Saya terharu, sekarang bagus sekali kalau dibandingkan dengan terakhir saya di sini. Kemajuan pasar modal Indonesia memang pesat ya," ujar Felia.


Kemajuan pesat pasar modal itu memang patut dipuji dalam 12 tahun terakhir. Saat ini sudah diterapkan otomatisasi langsung proses transaksi bursa (straight through processing/STP). Dan ketika Felia datang, penandatanganan perjanjian utang itu disusul dengan peluncuran STP yang merupakan bagian dari reformasi infrastruktur perdagangan di pasar modal.


Makna pinjaman itu sangat besar: untuk mengamankan pasokan dana untuk anggota kliring sehingga dapat lebih cepat menerima hak terima uangnya tanpa menunggu kewajiban serah dana dari anggota kliring lain.


Jumlah itu menambah plafon pinjaman untuk intraday yang akhirnya merangkak naik jadi Rp1,69 triliun. Sebelumnya plafon pinjaman baru diakomodasi sebesar Rp1,39 triliun, yang berasal dari PT Bank Permata Tbk Rp300 miliar, PT Bank CIMB NIaga Tbk Rp290 miliar, PT Bank Mandiri Tbk Rp500 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk Rp300 miliar.


Mungkin Felia belum tahu. Ditarik ke beberapa bulan silam, masalah reformasi infrastruktur perdagangan bursa sempat membuat ‘panas’ Ruang Pertemuan di Galeri BEI siang Kamis, 9 Februari tahun ini.


Diskusi SRO bursa itu awalnya berjalan biasa saja, tetapi mendadak stressfull, bahkan menjurus ricuh sehingga sukses membuat ruangan berhawa dingin itu ‘gerah’.


Acara itu bertajuk Sosialisasi Daftar Hasil Kliring Tambahan Level Nasabah (identitas tunggal investor/single investor identification/SID), yang sejatinya ingin mensosialisasikan proses kliring tambahan bagi investor setiap perusahaan efek.

Penerapan ketentuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pemisahan rekening dana nasabah sekuritas dan penerapan peraturan baru modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) yang dimulai sejak 1 Februari. Proses itu adalah penunjang menuju program STP.

Hampir seluruh direksi dan manajer perusahaan efek anggota bursa (AB)-- jumlahnya mencapai 119 sekuritas--tak habis pikir. Baru berlangsung 7 hari pelaksanaan MKBD dan pemisahan rekening, ternyata ada ketentuan baru yang kembali membuat puyeng manajemen sekuritas.

“Ini kita lagi sulit, masih belum selesai [rekening dana], kenapa ditambahin lagi?” kata seorang peserta rapat dari broker yang tidak bersedia menyebutkan namanya.

Tak berhenti di situ, cerocosan anggota rapat pun bersahutan. “Itu bagaimana hitung-hitungannya? Apalagi [bagi] transaksi margin-nya?” sahut seorang wanita yang duduk di pojokan menimpali.


Berdasarkan informasi beberapa sumber yang mengikuti rapat itu, suasana makin ricuh karena sebagian besar peserta ingin buka suara.

Akhirnya Hoesen, Direktur Utama PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) yang duduk di depan, berusaha menenangkan floor diskusi yang mulai gaduh.


“Supaya nanti kalau peraturannya [dari Bapepam-LK] keluar, tidak terlalu terburu-buru [jadi diterapkan dulu],” ujarnya dalam rapat itu.

Bersanding dengan Hoesen ada juga direksi SRO lain: Direktur Utama BEI Ito Warsito, Direktur BEI Uriep Budi Prasetyo, Direktur Utama KSEI Ananta Wiyogo, dan Direktur KSEI Sulistyo Budi. Cukup lengkap guna menyerap isi kepala direksi AB.

Sesi diskusi berdurasi 2 jam itu berhasil diatasi dengan adanya pengumuman sanksi peringatan pertama kepada 87 sekuritas oleh Ananta Wiyogo, karena belum patuh seutuhnya terhadap ketentuan pemisahan rekening dana dan MKBD.

“Jika nasabah dari ke-87 anggota bursa ini masih bertransaksi tidak menggunakan rekening dananya [yang telah dipisahkan], maka kami akan keluarkan kembali surat peringatan yang kedua sampai surat peringatan yang ketiga,” tegas Ananta.

Sanksi ketiga, lanjutnya, akan dilanjutkan pelimpahan ke SRO lain untuk diambil tindakan selanjutnya. Dalam hal ini, tindakan lanjutan dapat berarti penghentian perdagangan sementara atau suspensi oleh BEI.

Soal ke-shahihan rapat tertutup itu baik Ananta, Hoesen, Ito, Uriep, maupun Sulistyo, tidak berhasil dikonfirmasi. Semua tutup mulut apakah kericuhan itu terjadi.

Toh Kordinator Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Wijaya bersikeras penertiban MKBD sendiri cukup berlangsung mulus, dan relatif tak ada masalah dibandingkan dengan penerbitan regulasi soal pemisahan rekening nasabah atau RDN. Lily, sejak awal soal MKBD dan rekening dana memang tampak hati-hati sekali dalam berbicara.

“RDN juga memiliki implikasi, salah satunya dana nasabah yang tidak bertuan, kecil-kecil, ada yang Rp2 miliar per AB, tetapi jumlahnya ribuan, ini menjadi tidak jelas,” ujarnya.

Di sisi lain, saat itu Kepala Biro Transaksi dan Lembaga Efek Bapepam-LK Yunita Linda Sari sangat yakin semua proses MKBD dan RDN bakal tuntas. Ketentuan tambahan 4 hari juga terkait dengan adanya beberapa nasabah yang belum tuntas pemisahan RDN-nya, meski sudah memasukan dokumennya.


Tapi tentu Yunita menolak jika dikatakan Bapepam-LK ternyata member lampu hijau dan terkesan melunak. “Serba salah juga, kalau diringankan dibilang melunak, tetapi kalau terlalu keras dianggap otoriter,” ujarnya dalam kunjungan ke kantor Bisnis tak berapa lama setelah Februari.

Padahal di tengah keyakinan otoritas pasar modal, APEI—sebagai perwakilan suara broker— berulang kali menegaskan broker belum siap. Perlu ada kebijakan dan kelonggaran apalagi kebijakan tersebut melibatkan banyak pihak, AB, bank pembayar, SRO, dan vendor," ujar beberapa petinggi APEI.

Jajaran pengurus APEI juga entah sudah berapa kali menghadiri pertemuan di mabes Bapepam-LK Lapangan Banteng bahkan hingga malam, tapi tetap saja rayuan asosiasi ke Ketua Bapepam-LK Nurhaida tak mempan.

Dewan Pakar Masyarakat Investor Sekuritas Seluruh Indonesia (MISSI) Johannes Soetikno bahkan mengganggap implementasi dua hal itu seperti dipaksakan di tengah belum siapnya infrastruktur broker.

Menurut dia mestinya Bapepam-LK lebih bijak dalam hal ini dan menerapkan masa transisi sebleum ini benar-benar terimplementasi. “Seharusnya sistemnya ini diujicobakan terlebih dahulu. Mungkin akan lebih bijaksana jika regulator menerapkan masa transisi bagi setiap sekuritas dan vendor terkait penyesuaian sistem ini,” katanya.

Parahnya lagi, katanya, pemisahan rekening dana yang saat ini belum didukung sepenuhnya oleh infrastruktur kuat berpotensi membuat rekening dana nasabah dari broker yang satu dengan broker lain justru malah terhubung. “Ini bukan kekhawatiran, ini sudah terjadi,” tegasnya.

Direktur utama sebuah sekuritas juga khawatir. Baginya belum ada jaminan investor yang dananya dikembalikan itu tidak akan kapok kembali ‘menyekolahkan’ duitnya ke perusahaan sekuritas tempat dia bertransaksi atau bahkan enggan 'bermain' di pasar modal.


“Selama ini dibolehkan, tetapi hanya untuk jual, lantas tekanannya jual terus dong,” katanya.

Belum lagi soal kendala dan ketidaksiapan broker, bank pembayar, dan vendor, soal ini pun tak luput dari unsur politis. Beberapa direksi SRO yang masih menjabat katanya sudah bisik-bisik ke beberapa sekuritas untuk menggalang suara awal dalam pemilu bursa.


“Berkampanye boleh, asal jangan sambil cuci tangan dan menyalahkan Bapepam-LK,” kata direktur itu.


Tapi ada yang tak disangka juga, baik oleh Felia, Lily, Johannes, manajemen AB, atau bahkan direksi SRO. Infrastruktur bursa dan STP akan menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan direksi BEI. (M. TAHIR SALEH/RIKA NOVAYANTI)


No comments:

Post a Comment